Sunday, June 15, 2008

Road to Cilacap

Sosialisasi di Lapas Cilacap

Masjid Agung Cilacap
Jalan di daerah Kalisabuk

Aku masih mengantuk saat itu. Senin tanggal 9 Juni 2008. Pagi sekitar jam delapan kurang sudah kulaju motorku ke Cilacap.

Tak seperti pekan – pekan sebelumnya, di mana aku biasa ke Cilacap setiap Rabu. Tugas kerjaku. Karena LSM tempat aku bekerja mencakup dua wilayah: Kabupaten Banyumas dan Cilacap.

Ku lewati lagi jalan yang berliku – liku. Terkadang terlihat pemukiman, kadang hutan, kadang sungai, kadang persawahan. Entah sudah berapa kali aku melewatinya. Meskipun sendirian, tapi tetap terasa aman.

Sampai di Cilacap sekitar pukul sembilan lebih lima belas menit. Aku lalu menuju ke Lapas Cilacap. Tempat di mana aku akan melakukas tugasku, sosialisasi. Lapas Cilacap berada di sekitar alun – alun Cilacap. Ketika pintu gerbang lapas terbuka, bisa kulihat sipir – sipir. Melewati pintu kedua, kulihat beberapa sipir sedang menonton TV. Aku tak ingat apa acaranya saat itu. Aku tak peduli. Kemudian, di sisi lain, ku temui beberapa napi sedang berdiri di samping tembok. Mereka sudah menunggu kami.

Sosialisasi semacam ini bukan yang pertama kalinya. Jadi aku tidak begitu grogi. Yang agak membuatku khawatir adalah materi yang akan aku sampaikan. Aku belum mempelajarinya!

Salah seorang temanku aku minta untuk presentasi terlebih dahulu. Dia membawakan materi yang aku buat. Tidak terlalu rumit. Karena masih dasarnya saja. Sedangkan aku mempelajari materi yang akan aku sampaikan. Seharusnya teman kerjaku yang lain yang menyampaikan materi tersebut, tapi beliau tidak dapat ke Cilacap karena sedang sakit.

Acara sosialisasi berjalan lancar. Tidak ada hambatan yang berarti. Dihadiri oleh empat puluh sembilan napi dan tiga orang petugas.

Selesai melakukan tugas di lapas untuk kali itu.

Sebelum kembali ke ’kantor’ kami sempat ngobrol dulu di depan lapas, di pinggir alun – alun. Melepas penat sebentar. Kemudian terdengar suara Adzan.

Setelah beberapa menit. Aku pun menuju ke ’kantor’. Untuk beristirahat sebentar serta melakukan koordinasi dengan teman – teman yang bertugas di area Cilacap.

Setelah Ashar, aku kembali ke Purwokerto. Aku mencoba untuk sedikit menikmati perjalananku kali ini. Meski dengan perut sedikit kosong karena aku belum makan sejak pagi. Aku hanya makan snack saat sosialisasi tadi.

Mencoba mengamati jalanan. Yang ternyata sudah semakin parah. Banyak lubang di beberapa tempat. Terutama di Cilacap. Aku sedikit bertanya – tanya dalam hati—“Kok Cilacap dengan notabene sebagai kota dengan UMR paling tinggi di Jawa Tengah, jalanannya masih sering rusak seperti itu? Apakah tidak bisa memperbaiki jalan dengan kualitas aspal yang lebih baik? Atau mungkin menggunakan semen saja, khan di Cilacap ada perusahaan semen yang cukup ternama?”

Kutemui lagi jalan dengan kanan – kirinya persawahan, hutan, sungai dan pemukiman. Terasa nyaman. Kadang terbesit olehku, ingin rasanya hidup nyaman dan damai di daerah pedesaan, jauh dari hiruk pikuk perkotaan. Kusempatkan diri untuk mengabadikan gambar jalan yang berada di tengah – tengah sawah. Pemandangan yang menentramkan.

Akhirnya, sampai juga ke Purwokerto. Kupandangi pertokoan yang mulai ramai dengan pembeli. Trotoar alun – alun purwokerto yang mulai dipadati oleh pedagang kaki lima. Kuarahkan motorku menuju ke utara. Samar – samar kulihat gunung Slamet yang gagah di kejauhan sana.

Sunday, June 1, 2008

Road to Kroya

Siang itu, saat aku sedang akan menikmati makan siangku bersama Ririn, tiba – tiba dering suara handphone-ku mengagetkanku. Suara di ujung sana, Pak Dwi, beliau mengabarkan jika seorang sahabat telah berpulang….

Bagus Samanto.

Aku ingat, pertama kali aku kenal dia, saat pelatihan Konselor VCT dan Managemen Kasus di Ungaran. Meski kita sering ketemu di Purwokerto, tapi sebelumnya kita belum pernah ngobrol. Hari itu banyak yang kita bicarakan. Namanya juga kenalan. Mencoba menyelami diri masing – masing.

Pelatihan saat itu menjadikan kita teman satu kamar. Bersama Mas Eko dari PKBI Semarang.
Tidak banyak yang aku tahu dari Bagus. Namun aku sudah merasa akrab dengannya.
Itu berbulan – bulan yang lalu. Tepatnya sekitar September tahun lalu.

Ingatanku paling baru, adalah hari Jumat kemarin. 23 Mei 2008. Dia datang ke kantor. Dan sempat Jumatan bareng. Tapi hari Minggu, aku sudah mendapat kabar bahwa dia telah pergi, selamanya. Kaget dan tak percaya.

Maka siang itu juga, aku mencari kebenarannya. Dan aku akhirnya percaya. Kulaju motorku ke Kroya. Bersama Pak Dwi, Mas Nanung, dan Ririn juga tentunya.

Melewati jalan – jalan yang jarang sekali kulewati. Persawahan yang menawan dengan pemandangan bukit – bukit di kejauhan. Seakan – akan menemani kita ke Kroya.

Mungkin aku tak begitu berarti bagi kehidupan seorang Bagus. Tapi aku merasa, bahwa dia adalah salah satu orang yang membuka mata dan hatiku pada dunia yang, dulu, pernah aku anggap menakutkan.

Selamat Jalan Kawan! Semoga kau mendapat tempat terindah di sisi-Nya. Amin.

Aku akan mencoba meneruskan perjuangan dan menghidupkan semangat baikmu!

To Cirebon with Sadness

Aku kira aku tidak akan melakukan perjalanan ke luar kota lagi setelah kemarin ke Jogja di bulan ini. Tapi ternyata Tuhan berkehendak lain.

Aku kembali menyusuri jalan dari Purwokerto hingga ke Cirebon. Sendirian. Naik sepeda motor. Dengan perasaan sedih aku ke sana.

Keponakanku. Anak Mbak Putri, Nazmi Fathadina meninggal. Pagi itu, 14 Mei 2008, sekitar jam 10 pagi. Pertama aku tahu kabar ini ketika adikku mengirim sms padaku. Dion berkata kalo dia akan ke Purwokerto. Aku kaget. Dion seharusnya langsung ke Cirebon. Itu yang mama inginkan. Dion ke Cirebon. Lalu aku menyuruhnya langsung ke Cirebon saja dan memberitahunya kalau papa sedang dalam perjalanan ke sana karena dikabari bahwa Nazmi sedang sakit.

—Nazmi udh g da mas. Tiket k crbn mhl. Q k pwt ja..insyaAlloh..—

Sms dari Dion tadi membuatku bingung untuk beberapa saat. Lalu aku langsung mengirim sms ke mama. Menanyakan tentang keadaan Nazmi.

—Nazmi br sj meninggal. Kamu cpt plng ke rmh. Tunggu brita dr mama.—

Beberapa detik aku terdiam. Tak percaya dengan isi sms itu. Beberapa menit kemudian Mbak Putri menelponku. Dengan isak tangisnya, dia memberitahu kabar itu. Sedih.

Padahal sekitar jam 3 pagi hari itu, Mbak Putri menelponku dan aku mendengar suara tangis Nazmi. Memilukan. Nazmi dari malam rewel, nangis terus, begitu katanya. Akhirnya papa memutuskan paginya akan langsung ke Cirebon. Sekitar jam 5.30 mama aku telpon. Mama memberitahu Nazmi sedang dibawa ke rumah sakit.

Sekitar jam 8 pagi papa berangkat ke Cirebon. Naik motorku.

Setelah mama memberitahuku, mama memintaku menelpon beberapa kerabat. Mengabarkan berita lelayu itu.

Sorenya, setelah aku menyiapkan semua, aku menuju ke Cirebon naik motornya papa. Sampai di sana sekitar setelah maghrib. Hari sudah gelap. Dan kudapati beberapa kerabat dari Tegal sedang di depan rumah. Juga Mbak Putri dan Mas Prio. Ada kesedihan yang mendalam di tatapan mereka. Begitu pula mama. Wajahnya sayu, ada bekas – bekas tangis di raut wajahnya.

Dan aku tak mau banyak bicara. Aku juga sedih. Meskipun tak ada tetes air mata saat itu.

Selamat tinggal Nazmi, keponakan cantikku... Om Batman sayang kamu...

(2300508)

Road To JOGJA …

Aku dan Farid, siapa yang rakus?
makan sate di Ambal

Perjalanan ke Jogja kali ini sedikit berbeda. Kalau biasanya aku tempuh menggunakan kereta api, kali ini aku naik motor ke sana. Bersama Epul dan Farid. Meski dari kami bertiga tidak ada yang benar – benar paham jalan menuju ke jogja maupun jalan – jalan di Jogja tapi kami tetap semangat ke sana.


Kali ini, tujuanku ke Jogja adalah mengambil kamera digital di Bu Nusya—adik papaku. Kamera ini aslinya punya Budhe Ayik—budheku yang tinggal di Tokyo. Lumayan, setelah kemarin dapat warisan Laptop, sekarang dapet warisan kamera digital !!


Perjalanan menuju Jogja kita tempuh dengan mengambil beberapa jalur alternatif. Alasan pertama adalah untuk menghindari adanya cegatan dari polisi. Karena saat itu Epul belum punya SIM! Dan aku dan Farid agak deg – degan karena sempat ada beberapa kali razia lalu lintas, namun syukurlah...kami tidak dihentikan saat razia tersebut. SELAMAT deh !!


Tujuan pertama setelah berada di Jogja adalah ke SHOPPING. Untuk pesan buku. Dilanjutkan mencari makan siang. Kami sempat jalan – jalan mencari tempat makan. Akhirnya, kita makan di dekat situ, Nasi Gulai. Lumayan murah...


Setelah itu, kita menuju ke JaKal...pakai acara muter – muter gak karuan... karena aku juga bingung...untunglah akhirnya nyampe juga. Sesampainya di rumah Bu Nusya, kami ngobrol banyak hal. Bu Nusya sedang menulis novel saat itu. Dia meminta pendapat kami tentang prolog dari novelnya.


Kami ngobrol hingga malam sekitar jam 8. Setelah itu, kami putuskan untuk jalan – jalan. Dan kami habiskan sekitar 1 jam untuk mencari sebuah tempat bernama KINOKI. Kami kira di sana masih ada komunitas buku tapi malam itu tidak kami temui. Aku agak merasa salah masuk tempat, I’m not comfort to that kinda place!!


Setelah dari tempat itu, kami kembali ke rumah Bu Nusya. Mengistirahatkan badan setelah perjalanan panjang kami.....


Keesokan harinya, setelah sarapan di warung soto khas Jawa Timur di Pasar Kolombo, kami berpamitan. Kami menuju ke shopping lagi untuk mengambil buku yang telah dipesan kemarin. Rupanya banyak juga...


Perjalanan kembali ke Purwokerto, kami sempatkan berhenti di Ambal. Mencicipi sate ambal. Kami juga sempat berfoto – foto di sana. Seharusnya kami sudah sampai di Purwokerto pukul 7 malam. Tapi karena ban motorku bocor di Sumpiuh dan berulang di Kedung Pring dan Buntu, kami baru sampai pukul 10 malam. Benar – benar perjalanan yang melelahkan !!!

Road to Purbalingga

Seperti Sabtu malam yang sudah – sudah, aku habiskan bersama teman – teman dari JK. Kalau biasanya hanya nongkrong di JK dengan sejuta canda dan cerita dan kadang – kadang dengan ulah usil, kali ini sedikit berbeda. Aku, Farid, Bayu dan Anne meluncur ke Purbalingga.

Malam itu jalanan agak ramai dengan kendaraan bermotor. Jalan menuju Purbalingga yang masih banyak diapit oleh persawahan itu pun masih lebih sering gelap dari pada diterangi oleh penerangan jalan. Dengan aroma khas pedesaan dan taburan bintang – bintang serta terangnya bulan menjadikan perjalanan kami menyenangkan.

Ini kesekian kalinya aku ke Purbalingga. Menikmati malam di Purbalingga menurutku cukup menyenangkan. Ada suasana berbeda yang aku rasakan daripada menikmati malam di Purwokerto. Dengan cahaya lampu yang cukup terang dan keramaian yang terpusat di alun – alun kotanya, Purbalingga cukup menarik bagiku.

Kami menghabiskan malam Minggu itu dengan mendatangi salah satu Cafe di dekat alun – alun. Menikmati kopi dan roti bakar sambil menonton pemutaran film indie. Salah satu alasan kami datang ke Purbalingga adalah untuk menghadiri pemutaran film tersebut.

Aku mengapresiasikan pemutaran film tersebut sebagai terobosan yang baik di kalangan anak muda di wilayah ini. Secara pribadi, aku mendukung kegiatan tersebut. Dengan segala keunikannya, budaya lokal bisa menjadi salah satu elemen yang menarik untuk diangkat ke dalam film. Karena banyak kalangan muda yang, mungkin, belum tahu mengenai budayanya sendiri. Aku kira, dengan diangkatnya budaya melalui film, akan lebih mudah masuk ke kalangan muda tersebut.

Karena hari semakin larut, akhirnya kami memutuskan untuk kembali ke Purwokerto. Melewati jalan yang eksotis itu dengan sedikit canda tawa dan cerita. Kami mengantar Anne menuju ke rumah temannya, di mana ia akan menginap.

Lalu kami bertiga menuju ke alun – alun Purwokerto. Di sana masih banyak orang – orang yang nongkrong. Kami menuju ke penjual wedang ronde di sisi timur alun – alun. Sambil menikmati wedang ronde di bawah salah satu pohon beringin yang berdiri kokoh di tempat tersebut, kami ngobrol mengenai perempuan dan keperawanan (cukup dewasa sekali ya?). Beberapa argumentasi dan opini kita sampaikan. Tanpa menghasilkan suatu kesimpulan apapun. Karena itu hanya bersifat ngobrol bebas saja, bukan bermisi mempengaruhi satu dengan lainnya.

Setelah puas, kami meluncur menuju ke JK lagi. Dan beristirahat untuk beberapa jam. Menunggu pagi.....

Purwokerto, 27 April 2008